Hujan di atas makam itu tak pernah berhenti, seperti air mata yang abadi. Setiap tetesnya adalah bisikan dari dunia yang terlewatkan, dunia di mana aku pernah bernapas, tertawa, dan mencintai. Dulu, aku adalah Lin Mei, seorang pendekar wanita dengan janji yang tak terpenuhi. Sekarang, aku hanya bayangan, roh yang terikat pada sebilah pedang yang dulu kugenggam dengan bangga.
Dulu, aku mati di tangan orang yang kucintai, Li Wei. Pedang itu, pedangnya sendiri, menembus jantungku di bawah cahaya bulan yang kejam. Tidak ada penjelasan, hanya KEKHIANATAN yang bergaung dalam keheningan malam. Kata-kata yang ingin kuucapkan, kebenaran yang ingin kubagikan, ikut lenyap bersama napas terakhirku.
Sebagai arwah, aku kembali. Bukan untuk membalas dendam, bukan untuk menuntut keadilan. Aku hanya ingin tahu. Mengapa? Mengapa dia menusukku? Pertanyaan itu seperti duri yang tak henti-hentinya menusuk jiwaku.
Dunia arwah adalah LABIRIN sunyi dan indah. Bayangan menari di dinding-dinding waktu, ingatan berputar seperti daun gugur di musim gugur abadi. Aku melihat Li Wei, hidup dan bernapas di dunia manusia, namun matanya kosong, langkahnya tanpa arah.
Setiap malam, aku mengikutinya. Melihat dia meratapi kehilanganku, melihat dia mengutuk dirinya sendiri. Ada rasa sakit yang sama, rasa bersalah yang membayanginya seperti bayanganku membayangi makamku.
Suatu malam, di bawah pohon sakura yang bunganya berguguran seperti salju merah muda, aku melihatnya. Dia berdiri di depan makamku, menggenggam pedangnya.
"Mei," bisiknya, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku tidak punya pilihan. Mereka mengancam keluargaku. Mereka memaksaku."
Mereka. Kata itu bergaung dalam keheningan. Ternyata, aku hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar, bidak yang dikorbankan untuk melindungi yang lain.
Aku melihat ingatan itu melintas di benaknya: ancaman, paksaan, air mata ibunya, dan akhirnya, keputusan mengerikan yang harus dia ambil.
Kemarahan yang dulu membara kini meredup, digantikan oleh pemahaman. Bukan balas dendam yang kuinginkan, tapi kedamaian. Kedamaian untuk diriku, untuk Li Wei, dan untuk keluarganya.
Aku mendekat, tanganku terulur, mencoba menyentuhnya, tapi hanya angin yang melewatinya.
"Lepaskan," bisikku, meski dia tak mungkin mendengarku. "Lepaskan, Li Wei. Bebaskan dirimu."
Aku melihatnya meletakkan pedangnya di depan makamku. Sebuah permohonan. Sebuah pengakuan.
Aku tahu, kebenaran telah terungkap. Tujuan kembaliku telah tercapai. Bukan balas dendam yang kubawa pergi, tapi maaf.
Perlahan, kesadaranku mulai memudar. Cahaya dunia arwah menarikku kembali. Beban di pundakku terasa ringan.
Aku berbalik, menatapnya sekali lagi, dan…
… aku pergi.
You Might Also Like: Understanding Cpt Code For Emg
0 Comments: