Jakarta mengguyur. Hujan kota yang khas: abu-abu, berisik, dan membuat aroma kopi di kedai semakin menggoda. Di balik jendela kafe, jariku menari di atas layar ponsel, mengulang sisa chat kita. "Aku di sini," tulisku dulu. Balasanmu? Tidak ada. Hanya tanda centang biru yang menyakitkan, seolah membisikkan, "Aku tahu, tapi aku tidak peduli."
Dulu, getar notifikasi darimu adalah simfoni. Sekarang, hanya deretan angka yang mengingatkanku pada mimpi-mimpi yang hancur. Mimpi tentang apartemen minimalis dengan balkon menghadap kota, tentang dua cangkir kopi di pagi hari, tentang masa depan yang BERWARNA. Sekarang, semua itu hanya bayangan. Bayanganmu.
Kamu. Sosok yang kutemui di antara algoritma kencan daring. Senyummu terpancar dari foto profil, seolah menantangku untuk menyelami lebih dalam. Kita bicara tentang buku, film, dan mimpi yang sama-sama kita kejar. Kita tertawa sampai lupa waktu. Kita jatuh cinta. Begitu cepat, begitu INTENS.
Lalu, kamu menghilang. Tanpa jejak. Tanpa penjelasan. Hanya pesan singkat samar: "Maaf, aku harus pergi."
Bertahun-tahun berlalu. Aku menjelajahi setiap sudut kota, berharap menemukanmu di keramaian. Aku memutar lagu-lagu kita, mencoba memanggil kenangan. Aku memeluk bayanganmu, karena hanya itu yang masih kuingat.
Tapi, di balik kabut kehilangan, tersembunyi sebuah misteri. Sebuah rahasia. Sebuah folder tersembunyi di laptopmu, yang baru kutemukan beberapa minggu lalu. Isinya? Foto-foto. Foto-foto seorang wanita. Wanita yang sangat mirip denganku. Bahkan terlalu mirip.
Wanita itu adalah kamu, sebelum operasi plastik. Kamu yang ingin menjadi sempurna. Kamu yang TEROBSESI padaku. Kamu yang mencuri identitasku.
Kemarahan membakar. Sakit hati menghantam. Tapi di balik semua itu, ada rasa kasihan. Kasihan pada seseorang yang begitu haus cinta, sampai rela mengubah dirinya menjadi orang lain.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Malam ini, aku berdiri di depan apartemen barumu. Aku tahu kamu ada di dalam. Aku mengirimimu pesan terakhir. Bukan makian, bukan amarah, hanya sepatah kata: "Terima kasih."
Kemudian, aku mematikan ponselku. Selamanya.
Aku membalikkan badan dan melangkah pergi, senyum tipis bermain di bibirku. Bukan senyum kemenangan, tapi senyum kebebasan. Senyum yang mengatakan, "Aku sudah selesai denganmu."
Inilah balas dendam lembutku. Bukan dengan kata-kata, bukan dengan tindakan, tapi dengan ketidakpedulian.
Aku menghilang. Seperti kamu dulu.
Dan di matamu, aku tahu, aku meninggalkan kekosongan yang tak terperi...
You Might Also Like: Distributor Skincare Bisnis Sampingan
0 Comments: