Cinta yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir Hujan abu menggantung di udara, serupa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Di taman itu, ...

TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

Cinta yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

Hujan abu menggantung di udara, serupa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Di taman itu, di bawah pohon sakura yang kini kehilangan mahkotanya, aku menemukannya. Atau lebih tepatnya, dia menemukanku.

Li Wei, dengan gaun sutra putih yang dulu menjadi saksi bisu janji-janji masa lalu, kini berdiri mematung di depan nisan marmer. Nama suaminya terukir di sana, dingin dan abadi. Suami yang BUKAN aku.

Waktu itu, aku terlalu pengecut. Terlalu terikat pada tradisi keluarga, pada harapan orang tua. Aku membiarkannya pergi, menikahi pria pilihan mereka, pria yang kaya raya namun hatinya kosong. Aku kira, dengan begitu, aku bisa memberinya kehidupan yang lebih baik.

Bodohnya aku.

"Wei," bisikku, suaraku serak tertelan angin. Dia menoleh, matanya merah dan bengkak. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat seperti dulu. Hanya tatapan kosong yang menembus jantungku.

"Apa yang kau lakukan di sini, Zhao Ming?" tanyanya, suaranya sedingin es.

"Aku… aku hanya ingin…" Kalimatku terputus. Apa yang ingin kukatakan? Maaf? Terlambat. Cinta? Sia-sia.

Dia menghela napas panjang. "Semua sudah berakhir, Zhao Ming. Terlambat. Kau memilih jalanmu, dan aku… aku menjalani takdirku."

Kemudian, dia menceritakan semuanya. Tentang pernikahan tanpa cinta, tentang kesepian yang membungkusnya setiap malam, tentang harapan yang perlahan padam. Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah cambuk yang mencambuk hatiku.

"Dia memang memberiku segalanya. Rumah mewah, perhiasan berkilauan… tapi dia tidak pernah memberiku kamu, Zhao Ming." Air mata akhirnya tumpah dari matanya. "Dan itu adalah satu-satunya hal yang aku inginkan."

Aku mendekat, mencoba meraih tangannya. Dia menepisnya.

"Jangan sentuh aku," desisnya. "Kau kehilangan hak itu bertahun-tahun lalu."

Dan di saat itu, aku melihatnya. Di balik kesedihan dan kekecewaan yang mendalam, ada amarah yang membara. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang dingin, terencana, dan mematikan.

Suaminya, ternyata, meninggal bukan karena sakit jantung seperti yang diberitakan. Dia meninggal karena terlalu banyak minum anggur yang dicampur dengan… sesuatu. Sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Tatapan Wei bertemu dengan tatapanku. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, menghiasi bibirnya.

"Takdir, bukan?" bisiknya, suaranya bergetar namun mengandung kekuatan yang mengerikan. "Takdir yang menuntut keadilan."

Dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan aku terhuyung di bawah pohon sakura. Hujan abu semakin deras, menutupi segalanya dengan lapisan kepedihan dan penyesalan.

Cintanya tidak pernah diizinkan berakhir, tapi dendamnya baru saja dimulai, dan aku bertanya-tanya, akankah aku menjadi korban berikutnya yang jatuh dalam labirin cinta dan kebenciannya?

You Might Also Like: Wajib Baca Pelukan Yang Menyembunyikan

0 Comments: