Hujan kota Jakarta bagai air mata digital, membasahi layar ponselku yang redup. Notifikasi dari grup kerja berdentang tak henti, tapi mata...

Endingnya Gini! Aku Berlutut Di Depanmu, Tapi Hatiku Berdiri Melawanmu. Endingnya Gini! Aku Berlutut Di Depanmu, Tapi Hatiku Berdiri Melawanmu.

Hujan kota Jakarta bagai air mata digital, membasahi layar ponselku yang redup. Notifikasi dari grup kerja berdentang tak henti, tapi mataku terpaku pada satu nama: "Dia". Deretan pesan terakhir kami, tak terkirim. Tersimpan rapi di draft, bagai kenangan yang membatu dalam cloud.

Aroma kopi robusta di kafe langganan tak lagi menghangatkan. Dulu, di sini, jemarimu menari di atas keyboard laptop, menciptakan kode-kode rumit yang tak kumengerti. Dulu, tawamu renyah mengisi ruang, melenyapkan bisingnya jalanan. Sekarang, hanya sunyi.

Kehilangan ini samar, bagai hantu wifi yang tiba-tiba menghilang. Aku tak tahu persis kapan semua berubah. Apakah saat kau mulai lebih sering lembur? Atau ketika senyummu tak lagi mencapai mata? Misteri ini membelitku, bagai kabel charger yang kusut.

Aku berlutut di hadapanmu, memohon penjelasan. Memohon cinta yang dulu kau janjikan. Tapi hatiku, HATIKU, berdiri tegak melawanmu. Menolak untuk terus dibutakan.

Kemudian, aku menemukan rahasia itu. Tersembunyi di folder terenkripsi di laptopmu. Foto. Dia. Bukan aku. Bukan kami.

Dunia runtuh, bukan dengan dentuman keras, melainkan dengan getaran silent mode. Sakitnya menusuk, bukan bagai kilat blitz kamera, tapi bagai low battery yang menghabisi daya hidupku.

Balas dendamku lembut. Selembut desahan angin malam.

Aku mengirimimu pesan terakhir. Bukan umpatan. Bukan tangisan. Hanya satu kata: "Selamat."

Kemudian, aku menghapus namamu dari semua contacts. Memblokir semua social media.

Aku datang ke kafe. Memesan kopi robusta. Duduk di meja kita. Menikmati aroma pahit yang dulu kau sukai.

Saat kau datang, mencari, matamu memohon, aku tersenyum. Senyum terakhir. Senyum kemenangan.

Aku berdiri. Meninggalkan meja. Meninggalkan kenangan. Meninggalkanmu.

Tanpa kata.

Punggungku menjauh, menghilang di tengah kerumunan. Aku move on. Benar-benar move on.

Dan saat aku berbalik untuk terakhir kalinya, kulihat kau berlutut di sana, di tempatku tadi, di bawah tetesan hujan digital.

Tapi, aku tidak peduli lagi.

Karena hati yang patah pun, berhak untuk merdeka.

You Might Also Like: Kelebihan Sunscreen Mineral Non Nano