Darah yang Mengalir di Balik Kata "Cinta" Babak 1: Bunga Persik yang Mekar Seribu Tahun Di bawah langit Beijing yang kelabu, Li...

TOP! Darah Yang Mengalir Di Balik Kata "Cinta" TOP! Darah Yang Mengalir Di Balik Kata "Cinta"

Darah yang Mengalir di Balik Kata "Cinta"

Babak 1: Bunga Persik yang Mekar Seribu Tahun

Di bawah langit Beijing yang kelabu, Li Wei, seorang pelukis kaligrafi muda, merasakan tarikan aneh. Setiap musim semi, ketika bunga persik bermekaran di Taman Jingshan, dadanya sesak oleh kerinduan yang tak bernama. Dia tidak tahu mengapa, tapi aroma bunga itu selalu membawanya ke masa lalu yang kabur dan menyakitkan.

Seratus tahun lalu, di tempat yang sama, hiduplah seorang wanita bernama Meilan. Ia adalah putri seorang jenderal yang ternama, terkenal karena kecantikannya dan hatinya yang lembut. Meilan mencintai seorang sarjana miskin bernama Zhao Feng. Cinta mereka, bagaikan bunga persik yang mekar di tengah musim dingin, indah namun rapuh.

Namun, cinta mereka terlarang. Jenderal Li, ayah Meilan, telah menjanjikannya kepada seorang panglima perang yang kejam dan ambisius. Zhao Feng, dalam keputusasaannya, berjanji akan merebut kekuasaan untuk membuktikan cintanya pada Meilan.

Janji itu berujung malapetaka. Zhao Feng dikhianati, ditangkap, dan dieksekusi di depan mata Meilan. Sebelum nyawanya direnggut, Zhao Feng berteriak, "Aku akan kembali! Aku akan menemukanmu, Meilan!"

Meilan, hancur hatinya, memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di Danau Jingshan, di bawah pohon persik yang menjadi saksi bisu cinta mereka. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berbisik, "Aku akan menunggumu, Zhao Feng...selamanya."

Li Wei tidak tahu kisah Meilan dan Zhao Feng. Tapi setiap kali ia menggambar bunga persik, air mata tanpa sadar menetes di atas kertas. Ia merasa... familiar.

Babak 2: Bisikan dari Kehidupan Lampau

Takdir mempertemukan Li Wei dengan seorang wanita muda bernama Lin Yue. Lin Yue adalah seorang pianis berbakat, namun hidupnya dihantui oleh mimpi buruk yang sama berulang kali: seorang pria dengan mata yang penuh cinta dan kepedihan dieksekusi di hadapannya.

Suatu malam, saat Li Wei menghadiri konser Lin Yue, ia mendengar melodi yang sangat familiar. Melodi itu adalah lagu cinta yang diciptakan Zhao Feng untuk Meilan seratus tahun lalu. Li Wei merasakan jantungnya berdebar kencang.

Setelah konser, mereka bertemu. Saat tangan mereka bersentuhan, mereka berdua merasakan sengatan listrik yang kuat. Lin Yue menatap Li Wei dengan mata yang terbelalak. "Kamu...kau..."

Li Wei, dengan suara bergetar, menyelesaikan kalimatnya, "Apakah kamu... Meilan?"

Dimulailah perjalanan mereka untuk mengungkap misteri masa lalu mereka. Mereka menemukan catatan harian Meilan dan surat-surat Zhao Feng yang tersembunyi di sebuah rumah tua di pinggiran kota. Setiap halaman, setiap kata, terasa seperti pengingat dari kehidupan yang pernah mereka jalani.

Babak 3: Kebenaran yang Pahit dan Pengampunan yang Menusuk

Akhirnya, kebenaran pahit terungkap. Jenderal Li, ayah Meilan, ternyata tidak hanya menjodohkan Meilan dengan panglima perang. Ia juga yang mengkhianati Zhao Feng, karena takut akan ambisi sarjana miskin itu. Jenderal Li ingin memastikan kekuasaannya tetap aman, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.

Li Wei, yang adalah reinkarnasi Zhao Feng, diliputi amarah. Ia ingin membalas dendam pada keturunan Jenderal Li. Tapi kemudian, ia menatap mata Lin Yue, yang adalah reinkarnasi Meilan. Ia melihat kesedihan dan kepasrahan di sana.

Meilan telah memaafkan ayahnya. Ia mengerti bahwa ayahnya melakukan itu karena cinta – cinta yang salah, cinta yang buta. Tapi tetap saja, cinta.

Li Wei mengerti. Dendam hanya akan memperpanjang siklus penderitaan. Ia memilih jalan yang lebih sulit: PENGAMPUNAN.

Ia mengunjungi makam Jenderal Li, bukan untuk mencaci maki, tapi untuk meletakkan seikat bunga persik. Ia berbisik, "Aku mengampunimu. Semoga kamu tenang."

Epilog

Musim semi kembali datang. Li Wei dan Lin Yue berdiri di bawah pohon persik di Taman Jingshan. Bunga-bunga bermekaran dengan indah, seolah merayakan cinta mereka yang telah melampaui waktu dan kematian.

Lin Yue memegang tangan Li Wei erat-erat. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Li Wei tersenyum lembut. "Kita akan hidup. Kita akan mencintai. Kita akan belajar dari masa lalu, tapi kita tidak akan terikat olehnya."

Mereka berdua tahu, mereka akan selalu terhubung. Darah yang mengalir di balik kata 'cinta' telah mengikat jiwa mereka selamanya.

Saat angin berhembus pelan, Li Wei mendengar bisikan lirih di telinganya, "...JANGAN LUPA, JANJI KITA DI BAWAH POHON PERSIC…"

You Might Also Like: Skincare Lokal Untuk Kulit Tropis

Angin dingin menyapu Istana Jade, sama dinginnya dengan hati Mei Lan. Dulu, ia adalah bunga terindah di taman kekaisaran, harumnya semerbak...

Drama Seru: Pedang Itu Menghapus Luka Ratu, Tapi Juga Menghapus Kehidupannya Drama Seru: Pedang Itu Menghapus Luka Ratu, Tapi Juga Menghapus Kehidupannya

Angin dingin menyapu Istana Jade, sama dinginnya dengan hati Mei Lan. Dulu, ia adalah bunga terindah di taman kekaisaran, harumnya semerbak cinta Kaisar. Dulu, ia adalah permaisuri yang dicintai, senyumnya secerah mentari pagi. Sekarang, ia hanya Ratu Terbuang, bayangan di balik tirai kekalahan.

Cinta Kaisar, dulu terasa bagai madu, kini terasa bagai racun yang membakar jiwa. Kekuasaan yang ia raih dengan pengorbanan, kini terasa bagai rantai besi yang mengikatnya. Ia dikhianati, direnggut segalanya. Bukan hanya tahta, tapi juga kehormatan dan kebahagiaan.

Namun, di kedalaman jurang keputusasaan, sebuah tunas mulai tumbuh. Sebuah tunas bernama KEBANGKITAN.

Mei Lan bukan lagi bunga yang merindu matahari. Ia adalah mawar berduri, yang keindahannya menyembunyikan racun mematikan. Ia mulai belajar, menyerap ilmu dari para ahli strategi yang dibuang, mengasah pedang di tengah malam yang sunyi. Gerakannya anggun, bagai tarian maut. Tatapannya lembut, namun menyimpan bara dendam yang membara tanpa api.

Bukannya amarah yang membabi buta, ia membalas dendam dengan ketenangan seorang ratu. Ia memainkan bidak catur politik dengan lihai, memutarbalikkan aliansi, menyingkirkan musuh satu per satu. Senyum manisnya adalah topeng yang menutupi rencana kejamnya. Suaranya lembut menenangkan, tetapi ucapannya adalah racun mematikan.

Setiap malam, Mei Lan berlatih pedang. Di bawah sinar rembulan, ia menari dengan bilah besi, setiap tebasan adalah kenangan yang terhapus, setiap tusukan adalah luka yang terbalaskan. Pedangnya bukan hanya senjata, tapi juga simbol pembebasan.

Akhirnya, tiba saatnya. Istana Jade bergemuruh. Pasukan pemberontak, yang dipimpin oleh Mei Lan, mengepung singgasana Kaisar. Tidak ada teriakan, tidak ada amukan. Hanya ketenangan yang mencekam.

Kaisar, yang dulu mencintainya, kini menatapnya dengan ketakutan. "Mei Lan… jangan…"

Mei Lan tersenyum. Senyum yang dulu menghiasi Istana Jade, kini terasa dingin dan mematikan. "Dulu, aku adalah korbanmu. Sekarang, aku adalah keadilan."

Pertempuran berakhir. Darah mengalir, tetapi Mei Lan tidak merasakan apa-apa. Ia hanya berdiri di puncak singgasana, memegang pedang yang berlumuran darah. Luka-lukanya telah terhapus, tetapi ia tahu, ia telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.

Ia melangkah keluar istana, meninggalkan tahta yang penuh noda. Ia berjalan menuju fajar yang menyingsing, meninggalkan masa lalunya di balik kegelapan.

Di ujung cakrawala, ia menghirup udara segar, merasakan angin menerpa wajahnya.

Dan di detik itu, Mei Lan akhirnya mengerti, bahwa tahtanya yang sesungguhnya bukanlah singgasana kekaisaran, melainkan… ketenangan jiwanya sendiri.

You Might Also Like: Interpretasi Mimpi Menangkap Harimau

Kau Menikah Dengan Dia, Tapi Hatimu Tak Pernah Setia Hujan gerimis membasahi kota Shanghai. Di balik jendela apartemen mewah ini, aku men...

Cerpen Keren: Kau Menikah Dengan Dia, Tapi Hatimu Tak Pernah Setia Cerpen Keren: Kau Menikah Dengan Dia, Tapi Hatimu Tak Pernah Setia


Kau Menikah Dengan Dia, Tapi Hatimu Tak Pernah Setia

Hujan gerimis membasahi kota Shanghai. Di balik jendela apartemen mewah ini, aku menatapnya. Xiao Chen, lelaki yang kini berdiri di altar, mengucapkan janji setia pada wanita lain. Bukan aku. Wanita itu, Lin Mei, tersenyum anggun, gaun putihnya berkilauan di bawah lampu kristal. KILAUAN PALSU, pikirku pahit.

Suara guqin mengalun lirih dari speaker. Melodi yang dulu sering kami dengar bersama, saat masih ada KITA. Dulu, sebelum ambisi dan harta meracuni hatimu.

Aku berbalik, menjauhi pemandangan yang mengiris kalbu. Aku memilih untuk tidak hadir di pernikahan ini, memilih untuk diam. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku menyimpan rahasia. Sebuah rahasia yang jika terungkap, akan menghancurkan segalanya. Rahasia tentang anak yang kukandung, anak Xiao Chen.

Orang mungkin bertanya, mengapa aku tidak mengungkapkannya? Mengapa aku tidak merebut Xiao Chen kembali? Jawabannya sederhana: dendamku tak perlu kekerasan. Aku hanya ingin melihatnya menyesal. Aku ingin melihatnya hidup dalam kebahagiaan palsu, selalu dibayangi oleh KEBENARAN yang ia sembunyikan.

Lima tahun berlalu. Lin Mei melahirkan seorang putra, Xiao Wei. Keluarga Xiao semakin berjaya. Dari luar, mereka tampak sempurna. Tapi aku tahu, di balik senyum Xiao Chen, tersimpan keraguan. Tatapannya selalu mencari, seolah ada sesuatu yang hilang.

Suatu malam, aku menerima telepon dari nomor tak dikenal. Suara seorang wanita bergetar di ujung sana. "Dia bukan anakmu, Xiao Chen. Xiao Wei bukan darah dagingmu."

Duniaku serasa runtuh. Lin Mei berselingkuh? Lantas, siapa ayah Xiao Wei?

Penyelidikan singkat membawa aku pada fakta yang lebih mengejutkan. Lin Mei menikahi Xiao Chen hanya karena paksaan ayahnya, seorang pengusaha licik yang terlilit hutang. Ayah Lin Mei membutuhkan Xiao Chen untuk menyelamatkan bisnisnya. Dan Lin Mei, yang sebenarnya mencintai orang lain, terpaksa mengkhianati hatinya.

Lebih PARAH lagi, pria yang dicintai Lin Mei adalah… adik tiri Xiao Chen sendiri, Xiao Feng!

Aku tertawa getir. Takdir memang LUCU. Selama ini, aku menyangka bahwa Xiao Chen yang mengkhianatiku. Padahal, ia juga adalah korban.

Beberapa bulan kemudian, ayah Lin Mei bangkrut. Usaha keluarga Xiao merosot tajam. Skandal perselingkuhan Lin Mei terbongkar. Xiao Chen menceraikannya, dan Xiao Feng memutuskan untuk pergi jauh, meninggalkan Shanghai.

Aku bertemu Xiao Chen di sebuah kafe. Matanya sayu, wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. "Aku tahu," katanya lirih. "Aku tahu tentang anakmu. Dan aku tahu, aku pantas mendapatkan semua ini."

Aku hanya tersenyum tipis. Kebahagiaanku bukan terletak pada penderitaannya. Kebahagiaanku adalah melihat anakku tumbuh sehat dan bahagia.

Sebelum beranjak pergi, aku menatapnya sekali lagi. "Xiao Chen," ucapku pelan. "Semua RAHASIA pada akhirnya akan terungkap. Dan karma akan selalu menemukan jalannya."

Di balik tatapan kosongnya, aku melihat secercah penyesalan yang mendalam. Aku tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan inilah balas dendamku yang terindah: takdir yang berbalik arah, dengan pahit namun indah.

Hujan kembali turun. Aku melangkah pergi, meninggalkan Xiao Chen dalam kesunyiannya. Tapi aku tahu, bayanganku akan selalu menghantuinya.

Dan aku bertanya-tanya, apakah ia akan pernah tahu... bahwa aku yang mengirimkan rekaman suara itu pada malam pernikahan mereka?

You Might Also Like: Agen Kosmetik Reseller Dropship Di

Cinta yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir Hujan abu menggantung di udara, serupa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Di taman itu, ...

TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir TOP! Cinta Yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

Cinta yang Tak Pernah Diizinkan Berakhir

Hujan abu menggantung di udara, serupa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Di taman itu, di bawah pohon sakura yang kini kehilangan mahkotanya, aku menemukannya. Atau lebih tepatnya, dia menemukanku.

Li Wei, dengan gaun sutra putih yang dulu menjadi saksi bisu janji-janji masa lalu, kini berdiri mematung di depan nisan marmer. Nama suaminya terukir di sana, dingin dan abadi. Suami yang BUKAN aku.

Waktu itu, aku terlalu pengecut. Terlalu terikat pada tradisi keluarga, pada harapan orang tua. Aku membiarkannya pergi, menikahi pria pilihan mereka, pria yang kaya raya namun hatinya kosong. Aku kira, dengan begitu, aku bisa memberinya kehidupan yang lebih baik.

Bodohnya aku.

"Wei," bisikku, suaraku serak tertelan angin. Dia menoleh, matanya merah dan bengkak. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat seperti dulu. Hanya tatapan kosong yang menembus jantungku.

"Apa yang kau lakukan di sini, Zhao Ming?" tanyanya, suaranya sedingin es.

"Aku… aku hanya ingin…" Kalimatku terputus. Apa yang ingin kukatakan? Maaf? Terlambat. Cinta? Sia-sia.

Dia menghela napas panjang. "Semua sudah berakhir, Zhao Ming. Terlambat. Kau memilih jalanmu, dan aku… aku menjalani takdirku."

Kemudian, dia menceritakan semuanya. Tentang pernikahan tanpa cinta, tentang kesepian yang membungkusnya setiap malam, tentang harapan yang perlahan padam. Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah cambuk yang mencambuk hatiku.

"Dia memang memberiku segalanya. Rumah mewah, perhiasan berkilauan… tapi dia tidak pernah memberiku kamu, Zhao Ming." Air mata akhirnya tumpah dari matanya. "Dan itu adalah satu-satunya hal yang aku inginkan."

Aku mendekat, mencoba meraih tangannya. Dia menepisnya.

"Jangan sentuh aku," desisnya. "Kau kehilangan hak itu bertahun-tahun lalu."

Dan di saat itu, aku melihatnya. Di balik kesedihan dan kekecewaan yang mendalam, ada amarah yang membara. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang dingin, terencana, dan mematikan.

Suaminya, ternyata, meninggal bukan karena sakit jantung seperti yang diberitakan. Dia meninggal karena terlalu banyak minum anggur yang dicampur dengan… sesuatu. Sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Tatapan Wei bertemu dengan tatapanku. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, menghiasi bibirnya.

"Takdir, bukan?" bisiknya, suaranya bergetar namun mengandung kekuatan yang mengerikan. "Takdir yang menuntut keadilan."

Dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan aku terhuyung di bawah pohon sakura. Hujan abu semakin deras, menutupi segalanya dengan lapisan kepedihan dan penyesalan.

Cintanya tidak pernah diizinkan berakhir, tapi dendamnya baru saja dimulai, dan aku bertanya-tanya, akankah aku menjadi korban berikutnya yang jatuh dalam labirin cinta dan kebenciannya?

You Might Also Like: Wajib Baca Pelukan Yang Menyembunyikan

Aula Emas bergemerlapan. Cahaya lilin menari di atas lantai marmer, memantulkan kemewahan yang membungkus setiap sudut istana. Namun, kemew...

Harus Baca! Janji Yang Kuterima Sebagai Luka Harus Baca! Janji Yang Kuterima Sebagai Luka

Aula Emas bergemerlapan. Cahaya lilin menari di atas lantai marmer, memantulkan kemewahan yang membungkus setiap sudut istana. Namun, kemewahan itu terasa hampa, tercekik oleh aura intrik dan kekuasaan yang menguar dari setiap sudut. Di antara para pejabat dengan tatapan setajam belati, Kaisar Li Wei berdiri, gagah namun dingin. Di sisinya, berdiri Permaisuri Mei Lan, anggun dalam gaun sutra merah delima, namun matanya menyimpan lautan rahasia.

Hubungan mereka adalah PERMAINAN. Cinta yang dijanjikan di bawah pohon sakura kini hanya menjadi alat, senjata untuk memenangkan perebutan takhta. Li Wei, yang ambisinya membara, melihat Mei Lan sebagai pion berharga, istri yang kehadirannya menjamin legitimasi kekuasaannya. Mei Lan, yang semula mencintai Li Wei dengan segenap jiwa, kini merasakan setiap janji yang diucapkan sang kaisar sebagai luka yang menganga.

"Mei Lan," bisik Li Wei di suatu malam yang sunyi, suara rendahnya merayu sekaligus mengancam, "kau adalah satu-satunya alasan aku melakukan semua ini. Demi kita, demi masa depan kerajaan."

Mei Lan membalas tatapannya. "Masa depan kerajaan yang kau maksud adalah masa depan KAU, Li Wei. Dan aku… aku hanya bagian dari rencanamu." Bibirnya membentuk senyum pahit. "Setiap janji yang kau ucapkan, hanya menjadi rantai yang mengikatku."

Hari-hari berlalu dalam ketegangan. Bisikan pengkhianatan berdesir di balik tirai sutra. Pejabat-pejabat berbisik tentang aliansi tersembunyi, perebutan pengaruh, dan perebutan warisan takhta. Mei Lan, yang selama ini dianggap lemah dan bergantung pada Li Wei, ternyata memiliki kekuatan tersembunyi. Dia mengamati, menganalisis, dan menyusun rencana. Senyumnya menjadi semakin jarang, namun matanya berkilat dengan tekad yang membara.

Saat malam puncak perayaan musim gugur tiba, Mei Lan melancarkan aksinya. Dengan anggun dia menari di hadapan kaisar dan para pejabat, setiap gerakan memancarkan keanggunan sekaligus bahaya. Kemudian, dengan senyum yang membekukan darah, dia mengangkat gelas anggur dan bersulang.

"Untuk kaisar... dan untuk keadilan yang terlambat datang."

Anggur itu, yang semula tampak merah membara, berubah menjadi maut. Li Wei, yang meminumnya dengan penuh percaya diri, jatuh berlutut. Racun itu bekerja dengan cepat dan mematikan. Aula Emas menjadi sunyi senyap, hanya terdengar isak tangis beberapa selir dan bisikan ketakutan para pejabat.

Mei Lan berdiri tegak, gaun sutra merah delimanya kini seperti berlumuran darah. Tatapannya tertuju pada tubuh Li Wei yang tergeletak di lantai. Tidak ada penyesalan, hanya kepuasan yang dingin.

"Kekuasaan memang membutakan," bisiknya, suaranya bergema di seluruh aula. "Dan balas dendam... manis rasanya."

Ratu yang semula diperbudak cinta, kini menjadi ratu yang membalas dendam. Istana yang semula menjadi saksi cinta dan janji, kini menjadi saksi pengkhianatan dan kematian.

Dan di bawah langit malam yang gelap, istana menunggu... permainan baru dimulai.

You Might Also Like: 167 Dan Nathan Bio Age Height Education

Kau Mencintaiku Diam-diam, dan Diam Itu Lebih Keras dari Pengkhianatan Di tepian Danau Rembulan, tempat lenter-lenter lilin menari di p...

TOP! Kau Mencintaiku Diam-diam, Dan Diam Itu Lebih Keras Dari Pengkhianatan TOP! Kau Mencintaiku Diam-diam, Dan Diam Itu Lebih Keras Dari Pengkhianatan


Kau Mencintaiku Diam-diam, dan Diam Itu Lebih Keras dari Pengkhianatan

Di tepian Danau Rembulan, tempat lenter-lenter lilin menari di permukaan air, seorang gadis bernama Lin Yun terbangun. Ia tidak mengingat apa pun, kecuali namanya yang terasa asing di lidahnya. Dunia ini terasa kabur, seolah mimpi yang terlalu nyata. Lin Yun berada di dunia roh, alam baka yang dipenuhi bisikan angin dan bayangan yang berbicara.

Di dunia manusia, seorang pemuda bernama Zhao Wei meratapi kepergian Lin Yun, kekasihnya yang mati dalam sebuah kecelakaan misterius. Zhao Wei adalah seorang ahli waris klan pemburu roh yang dihormati, namun hatinya hancur berkeping-keping. Setiap malam, Zhao Wei mendongak ke bulan, berharap bulan akan mengingat nama Lin Yun dan membawanya kembali.

Lin Yun menemukan bahwa kematiannya di dunia manusia hanyalah awal. Ia dipilih untuk menjadi penjaga Gerbang Dua Dunia, jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Di sini, ia bertemu dengan seorang pria misterius bernama Bai Lian, penjaga abadi yang memiliki mata sedalam malam. Bai Lian membimbingnya, melatihnya, dan secara diam-diam mencintainya.

Namun, ada sesuatu yang ganjil dalam kebaikan Bai Lian. Bayangan-bayangan di sekitarnya berbisik tentang takdir yang dipalsukan, tentang kebohongan yang terselubung dalam senyuman. Lin Yun mulai melihat kilasan masa lalunya, masa lalu yang terhapus, masa lalu yang mengungkap rahasia mengerikan.

Ternyata, kecelakaan yang merenggut nyawanya bukanlah kecelakaan biasa. Itu adalah rencana terkutuk untuk membangkitkan kekuatan tersembunyi dalam dirinya, kekuatan yang mampu membuka gerbang ke dunia yang lebih gelap. Bai Lian, dengan cinta palsunya, adalah dalang di balik semua itu. Ia membutuhkan Lin Yun, tubuhnya, untuk memenuhi ambisinya.

Dan Zhao Wei? Zhao Wei yang berduka adalah satu-satunya harapan Lin Yun. Ia menemukan cara untuk berkomunikasi melalui mimpi, meninggalkan petunjuk samar di benak Zhao Wei. Zhao Wei, dengan tekad membara, mempelajari mantra kuno dan melakukan perjalanan berbahaya ke dunia roh.

Saat Zhao Wei tiba, kebenaran terungkap sepenuhnya. Bai Lian tidak pernah mencintai Lin Yun. Ia hanya menginginkan kekuatannya. Cinta sejati ada pada Zhao Wei, cinta yang melampaui kematian, cinta yang berani melawan takdir.

Pertempuran sengit terjadi. Zhao Wei, dengan amarah dan cinta di hatinya, melawan Bai Lian. Lin Yun, dengan kekuatan barunya, mematahkan kendali Bai Lian dan berdiri di sisi Zhao Wei. Pada akhirnya, Bai Lian dikalahkan, rencananya gagal.

Namun, kemenangan itu pahit. Lin Yun tidak bisa kembali ke dunia manusia sepenuhnya. Ia terikat pada Gerbang Dua Dunia, selamanya menjadi penjaga. Zhao Wei, dengan hati remuk, berjanji untuk selalu menunggunya, untuk selalu mengunjungi dunia roh dan menemaninya.

Di tepi Danau Rembulan, Zhao Wei memeluk Lin Yun untuk terakhir kalinya. "Siapa yang mencintai dan siapa yang memanipulasi," bisiknya, "kadang TERLIHAT sama."

Dan kemudian, Lin Yun mengucapkan kalimat yang terasa seperti mantra, kalimat yang mengakhiri kisah mereka, namun membuka pintu untuk kemungkinan yang lain:

"Biar bulan menjadi saksi, cinta kita adalah KUNCI, dan kebenaran akan terbit di akhirat."

You Might Also Like: Jualan Kosmetik Modal Kecil Untung_21

Hujan di atas makam itu tak pernah berhenti, seperti air mata yang abadi. Setiap tetesnya adalah bisikan dari dunia yang terlewatkan, duni...

Dracin Populer: Kau Menggenggam Pedangku, Tapi Kau Juga Yang Memintaku Bertahan Dracin Populer: Kau Menggenggam Pedangku, Tapi Kau Juga Yang Memintaku Bertahan

Hujan di atas makam itu tak pernah berhenti, seperti air mata yang abadi. Setiap tetesnya adalah bisikan dari dunia yang terlewatkan, dunia di mana aku pernah bernapas, tertawa, dan mencintai. Dulu, aku adalah Lin Mei, seorang pendekar wanita dengan janji yang tak terpenuhi. Sekarang, aku hanya bayangan, roh yang terikat pada sebilah pedang yang dulu kugenggam dengan bangga.

Dulu, aku mati di tangan orang yang kucintai, Li Wei. Pedang itu, pedangnya sendiri, menembus jantungku di bawah cahaya bulan yang kejam. Tidak ada penjelasan, hanya KEKHIANATAN yang bergaung dalam keheningan malam. Kata-kata yang ingin kuucapkan, kebenaran yang ingin kubagikan, ikut lenyap bersama napas terakhirku.

Sebagai arwah, aku kembali. Bukan untuk membalas dendam, bukan untuk menuntut keadilan. Aku hanya ingin tahu. Mengapa? Mengapa dia menusukku? Pertanyaan itu seperti duri yang tak henti-hentinya menusuk jiwaku.

Dunia arwah adalah LABIRIN sunyi dan indah. Bayangan menari di dinding-dinding waktu, ingatan berputar seperti daun gugur di musim gugur abadi. Aku melihat Li Wei, hidup dan bernapas di dunia manusia, namun matanya kosong, langkahnya tanpa arah.

Setiap malam, aku mengikutinya. Melihat dia meratapi kehilanganku, melihat dia mengutuk dirinya sendiri. Ada rasa sakit yang sama, rasa bersalah yang membayanginya seperti bayanganku membayangi makamku.

Suatu malam, di bawah pohon sakura yang bunganya berguguran seperti salju merah muda, aku melihatnya. Dia berdiri di depan makamku, menggenggam pedangnya.

"Mei," bisiknya, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Aku tidak punya pilihan. Mereka mengancam keluargaku. Mereka memaksaku."

Mereka. Kata itu bergaung dalam keheningan. Ternyata, aku hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar, bidak yang dikorbankan untuk melindungi yang lain.

Aku melihat ingatan itu melintas di benaknya: ancaman, paksaan, air mata ibunya, dan akhirnya, keputusan mengerikan yang harus dia ambil.

Kemarahan yang dulu membara kini meredup, digantikan oleh pemahaman. Bukan balas dendam yang kuinginkan, tapi kedamaian. Kedamaian untuk diriku, untuk Li Wei, dan untuk keluarganya.

Aku mendekat, tanganku terulur, mencoba menyentuhnya, tapi hanya angin yang melewatinya.

"Lepaskan," bisikku, meski dia tak mungkin mendengarku. "Lepaskan, Li Wei. Bebaskan dirimu."

Aku melihatnya meletakkan pedangnya di depan makamku. Sebuah permohonan. Sebuah pengakuan.

Aku tahu, kebenaran telah terungkap. Tujuan kembaliku telah tercapai. Bukan balas dendam yang kubawa pergi, tapi maaf.

Perlahan, kesadaranku mulai memudar. Cahaya dunia arwah menarikku kembali. Beban di pundakku terasa ringan.

Aku berbalik, menatapnya sekali lagi, dan…

aku pergi.

You Might Also Like: Understanding Cpt Code For Emg